C. Religi, Adat
kebudayaan, dan Upacara Keagamaan.
Religi orang Trunyan adalah suatu variant,
atau satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat di sebut sebagai
agama Hindu Bali Trunyan yang selanjutnya merupakan sebagai salah satu agama
resmi di Indonesia.
Agama Hindu Trunyan dapat disebut
sebagai variant (versi berbeda) dari agama Hindu Bali, karena
agama tersebut pada dasarnya jika dibandingkan dengan agama Hindu Bali, masih
lebih banyak berlandaskan kepada kepercayaan Truyan asli. Apa yang disebut
kepercayaan Trunyan asli itu adalah kepercayaan yang berdasarkan kepada
pemujaan roh leluhur, yakin tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling
tempat tinggalnya, sehingga perlu juga di puja, percaya bahwa benda-benda dan
tumbuh-tumbuhan di sekelilingnya selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti
manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda
yang luar biasa.
Walaupun dari luar religi Trunyan
tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karna sudah mempergunakan
liturgi Hindu, atau lebih tepat lagi Hindu Bali, yaitu antara lain diciri oleh
adanya pelinggih-pelinggih, meru, dan hias ragam puncak
dinding berupa ratna, yang merupakan atribut utama kuil Hindu, namun semua ini
di pergunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan[6].
Pelinggih-pelinggih, dan meru yang didirikan
di dalam kuil utama Trunyan, Bali Desa Pancering Jagat Bali sebagian besar dan
terutama bukan di peruntukkan bagi para dewa Hindu asli Trunyan. Memang di antara pelinggih-pelinggih tersebut
ada beberapa yang diperuntukkan bagi dewa-dewa Hindu asal India, yaitu misalnya
pelinggih Ida Ayu Maospati tempat bersemanyamnya Betara Indra dan Betara
Gangga. Namun letak pelinggih tersebut bukan tempat kuil utama Trunyan yang
tersuci, melainkan di Tempek Semangen, yang termasuk bagian
terluar (jaban) dari kuil utama tersebut, walaupun di
kuil utama mereka terdapat pelinggih, tempat bersemayam dewa yang bernama
Betara Galungan-Kuningan. Keadaan Pelinggih ini sangat menyedihkan, karena
sudah lapuk kurang pemeliharaan, serta kecuali bentuknya. Dewa tersebut hanya
diupacarakan, jika kebetulan hari Raya Galungan jatuhnya bertepatan dengan
Purnama Kadesa (kesepuluh), yaitu keadaan yang disebut nemu purnama (bertemu
bulan purnama) yang jarang terjadi.
Penduduk Desa Trunyan tidak
merayakan Hari Raya Galungan, Nyepi,Ciwaratri[7],
Saraswati[8],
Pagerwesi[9],
dan Kuningan, secara yang di lakukan orang Hindu Bali, melainkan sebagai
gantinya pada sebagian hari-hari yang sama, mereka merayakan upacara Khas
Trunyan sendiri, atau tidak merayakannya sama sekali.
Menurut kepercayaan orang Trunyan aspek
jiwa manusia yang bersifat perempuan bersemanyam di bagian hulu hati mereka,
sedangkan aspek jiwa manusia yang bersifat laki-laki bersemayam dii ubun-ubun
kepala mereka. Oleh karnanya maka untuk menghormati aspek jiwa yang bersifat
perempuan tetebasan[10]didekatkan
pada hulu hati seseorang oleh seseorang Pemangku dan Balian yang
melakukan upacara, yang orang yang di upacarakan harus mempergunakan kedua
tangannya untuk melakukan gerakan seolah-olah sedang meraup-raup sari yang
keluar dari sajian tersebut kearah hulu hatinya agar masuk kesitu. Untuk
menghormati aspek jiwa seseorang yang bersifat laki-laki sajian tetebasan
sapu lara secara perlahan-lahan diletakkan diatas kepala orang yang
sedang di upacarakan. Maksud upacaraNatab ini adalah agar
jiwa seseorang bersedia trus menjaga keselamatan badan kasarnya yang sedang
disemayam itu. Karena upacara ini di lakukan bagi perorangan, maka sajian yang
di buat pun harus bersifat perorangan.[11]
Pada upacara Natab ini
juga sekalian nyama pat[12] setiap
anggota rumah tangga, di panggil berkumpul kembali untuk menemani jiwa pribadi
masing-masing, untuk turut menjaga keselamatan dan kesehatan badan kasarnya.
Hal ini dilakukan karena orang trunyan percaya bahwa selama enam bulan itu
keempat saudara jiwa manusia dapat terpancar, terutama bagi mereka yang suka
berpergia jauh ke tempat-tempat berbeda. Keadaan ini dapat melemahkan kesehatan
tubuh jiwa yang bersangkutan selalu gelisah atau sakit-sakitan. Untuk
memulihkan kesehatan serta ketenangan tubuh dan jiwa yang bersangkutan, nyam
pat-nya harus di panggil berkumpul kembali dalam upacara Natab tersebut.
Hari Raya orang Bali Hindu yang di
lewatkan begitu saja oleh orang Trunyan, karna memang bukan merupakan hari raya
mereka, adalah Hari Raya Kuningan, Nyepi (tahun baru orang Bali
Hindu). Khusus mengenai Hari Raya Nyepi jika pada orang Bali Hindu dirayakan
dengan tidak bekerja, yang dilambangkan dengan adanya pantangan untuk
menyalakan api pada hari itu, di Trunyan pada har itu justru terlihat orang
sedang sibuk-sibuknya menyalakan dengan mereka untuk menyiapkan masakan, yang
akan disajikan nkepada dewa mereka di Pura Dalem.[13]
Upacara yang diadakan oleh orang Trunyan
bertepatan dengan hari Raya Nyepi pada bulan mati kesembilan adalah apa yang
mereka sebut upacara Saba Kangin atau Tilem Ing Kasanga itu
disebut Saba Kangin (pesta di utara), karena dewa yang di
peringati hari ulang tahunnya adalah dewa yang bersemanyam di Pura Dalem, yang
terletak di sebelah utara (kangin) desa induk Trunyan. Sebenernya yang
mengadaan upacra sembahyang pada hari itu bukan penduduk Trunyan yang hidup,
melainkan leluhur atau kerabatnya yang telah meninggal, tetapi karena mereka
kini sudah tidak memiliki lagi tubuh kasar yang dapat mengerjakan persiapan
untuk sajian, maka kerabatnya yang hiduplah yang menolong melaksanakanya.
Mengapa sampai dapat terjadi sehingga
agama Hindu Trunyan dapat menjadi suatu variant dari agama Hindu Bali, sudah
tentu dapat diterangkan karena tempat tinggal umatnya yang terpencil itu,
tetapi lebih-lebih lagi disebabkan karena sejak zaman dahulu kala kalau
umatnya menghadapi orang-orang yang hendak menyebarkan agama Hindu versi orang
Bali, seperti yang telah diusahakan oleh warga pasek selalu ditanggapinya
dengan penolakan bukan bersift konfrontatif, melainkan non-konfrontatif. Siasat
ini menyebabkan para penyebar agama tersebut terpedaya, karena mengira bahwa
misinya telah berhasil, sehingga menghentikan usahanya. Akibatnya penyebar
agama Hindu tersebut hanya berhasil menghidupkan roh-roh leluhur orang Trunyan
saja, sehingga menjadi dewa-dewa Hindu Trunyan, tetapi kurang dapat
menghidupkan desa tersebut.
Sikap penolakan yang non-konfrontatif
tersebut ternyata sampai sekarang masih dipraktekan oleh penduduk Trunyan zaman
sekarang. Berkat ajaran orang-orang Parisda Hindu Dharma, orang petani desa
Trunyan dewasa ini sudah mengenal Sang Hyang Widhi, Tuhan yang Maha Esa, bahkan
mereka pun mulai juga yakin bahwa dewa tertinggi mereka Ratu Sakti Pancering
Jagad adalah manifestasi atau penjelmaan Sang Hyang Widhi. Sebagai akibatnya
mmereka berkesimpulan bahwa dewa-dewa seperti Siwa, Wisnu dan Brahman
adalah putera-putera dewa tertinggi mereka.
Begitulah dengan adanya kekhasan dalam
sistem religi orang Trunyan, ditambah lagi dengan cara pemakamannya yang
bersifat mepasah dan perawatan air tuban, darah yang keluar
dari Rahim ibu sewaktu anak dilahirkan, ari-ari dan tali pusar yang
menghubungkan seorang janin dengan ari-ari, bukannya ditanam didalam
tanah seperti yang dilakukan oleh umat Hindu Bali, melainkan digantungkan
pada ranting semak-semak.[14]
Seperti halnya dengan religi-religi
lainnya di dunia, maka religi Hindu Bali Trunyan juga mempunyai empat unsur
pokok tersebut menurut koentjaraningrat (1967 : 218) adalah:
· Emosi keagamaan atau
getaran jiwa yang menyebabkan manusia itu bertindak serba religi.
· Sistem kepercayaan atau
bayang-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam, alam ghaib, hidup,
maut dan sebagainya.
· Sistem upacara-upacara
keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib
berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.
· Kelompok keagamaan atau
kessatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta
sistem upacara-upacara keagamaannya.[15]
Ø Adat Kebudayaan Suku
Trunyan.
Adat
kebudayaan yang dapat kami jelaskan di suku truyan sebagai berikut:
· Pementasan Burung Bentuk
Trunyan memiliki tarian langka bernama
Barong Brutak sangat jarang di pentaskan terkecuali saat Odala di Pura
Pancering Jagat desa Trunyan. Pada umumnya Barong di Bali itu bentuknya wujud
binatangseperti macan, singa, gajah, naga maupun babi. Namun, yang ada di Trunyan
ini berbeda, wajahnya barongnya menggunakan seperti topeng primitive,
dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh
pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kaka sang
ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), di petaskn pada
siang hari upacara odalan tersebut selama tiga hari berturut-turut. Penampilan
Barong ini dimulai dengan penampilan unen-unen tingkat anggota Berutuk, mereka
mengeliligi penyengker pura selama tiga kali sambil melembaikan Semeti dengan
suara melengking kepada para penonton, sehingga membuta para penonton takut.
Kemudian doa-doa dan sesajian di haturkan oleh seorang pemangku tatkala para
tokoh ningrat seperti raja, ratu, patih dan kaka ratu tampil kemudia keempatnya
juga mengelilingi tembok pura bergabung dengan unen-unen para peserta berlomba
mengambil pakaian daun pisang yang lepas, yang nantinya disebar diarea
perkebunan untuk kesuburan.[16]
· Tari Baris dalam
Kebudayaan suku Trunyan
Tari baris menurut Soedarsono adalah tari
ritula yang penting di Bali tari ini juga merupakan tari ke pahlawanan, dan
khusus di tarikan oleh pria. Sifat ritual ini tari ini adalah untuk membuktikan
kedewasaan seorang secara jasmani, dan kedewasaan seseorang ini di pertunjukkan
kemahirannya dalam olah keprajuritannya yang biasanya disertai kemahiran dalam
memainkan senjata. Tarian ini diiringi oleh gamelan, dan di tarikan berpasangan
yang terdiri dari empat, delapan, bahkan sampai berpuluh-puluh pasangan. Gerak
tarinya lebih menekankan ketegapan dan kemantapan dalam langkah kaki serta
kemahiran memainkan senjata. Kostum para penarinya juga khas, yaitu selain
memakai tutup kepala yang bebentuk kerucut, juga pakaian yang dihiasi dengan
kain-kain kecil panjang, sehingga memberi kesan pakaian besi..
Ø Tempat dan Upacara
Keagamaan Suku Trunyan.
Upacara keagamaan yang terdapat di suku
Trunyan terbagi menjadi lima yaitu sebagai berikut: pertama, Dewa Nyadnya, bisa
disebut dengan Odalan yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang di
upacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah
upacara Saba Gede yang di lakukan pada saat Tilem
Kasamadan Odalan Ratu Pingit dalem pada saat purnama
Saddha. Kedua, Putra Yadnya, upacara yang di lakukan untuk para
leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian. Ketiga, Resi Nyandnya upacara
yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta. Keempat, Buta Nyadnya upacara yang
dilakukan untuk Para Buta kala, biasanya juga dengan Mercaru. Kelima, Manusia
Nyadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masuh hidup misalnya,
upacara ulang tahun otonan yang berlangsung 6 bulan sekali.
Seperti halnya dengan upacara-upacara
keagamaan di Trunyan juga terdapat dari empat bagian, yaitu: pertama,
tempat-tempat upacara keagamaan, yang keduasaat-saat upacara, ketiga,
benda-benda dan alat-alat upacara, keempat, orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara. Karena upacara-upacara keagamaan adalah suatu
yang dianggap kramat, maka semua yang merupakan bagian dari itu secara otomatis
juga dianggap kramat.
Dalam kebudayaan orang Trunyan, jika
seseorang tidak dalam keadaan Sebelmaka bisa dikatakan bahwa
upacara-upacara yang rutin akan di lakukan setiap 15 hari sekali. Dari kelima
jenis upacara diatas hanya upacara Odalan, Mercaru, dan
Otonan yang dapat dikatakan sebagai upacara rutin.[17]
Ø Tempat-tempat Upacara
suku Trunyan.
Tempat upacara bagi keempat kelompok
upacara keagamaan di Trunyan tidak sama. Upacara Dewa Yadnya misalnya,
harus dilakukan di tempat tertentu misalnya di Kuil Bali Desa Pancering Jagat
Bali, baik di dalam maupun di luar kompleks kuil itu. Upacara Resi
Yadnya di lakukan di dalam Kuil Bali Desa Pancering Jagat.
Upacara Buta Nyadnya di lakukan di muka Bali desa Pancering
Jagat Bali, terutama di Pamedalan kalangan dari Bali Desa. Upacara Manusia
yadnyadilakukan di tempat manusia Trunyan berada, yaitu di dalam rumah, di
perkarangan masing-masing.
Tingkat kesucian, tempat-tempat keagamaan
di Trunyan dapat di bagi menjadi dua yaitu: pertama, Kuil pertama Trunyan, dan
kedua, Kuil-kuil tambahan serta tempat suci lainnya sebagian terletak di desa
Induk Trunyan, dan sebagian lagi ditempek-tempek atau belongan-belongan lainnya.
Dari kedua tempat suci tersebut yang tersuci adalah Kuil utama Trunyan.
Ø Upacara-upacara
Perkawinan Trunyan Bali
Perkawinan orang Trunyan lebih di tunjukan
kepada perkawinan endogami dadia, yaitu menurut orang ideal Trunyan, warga
dadia sebaikanya mencari jodohdekat di kalangan dadinya sendiri yakni,
misalnya pemuda dari Dadia Nang Saripen, sebaiknya mencari seorang gadis dari
Dadia Nang Saripan. Biarppun demikian entogami dadia ini ada batasnya juga
karena tidak boleh terjadi antara kerabat yang terlalu dekat hubungan
kekerabatannya. Artinya paling sedikit harus diantara saudara sepupu derajat
kedua. Perkawinan antara saudara sepupu derajat pertama hanya boleh terjadi di
antara sodara-sodara sepupu yang merupakan anak-anak dari dua orang bersaudara
sekandung yang bekelainan jenis kelamin (cross coushin). Jadi Ego di
perbolehkan menikah dengan putri saudara perempuan sodara ayahnya (Paternal
cross coushin). Ego boleh juga menikah dengan putri saudara laki-laki sekandung
ibunya.
Usia pemuda Trunyan untuk menikah adalah
25 tahun, dan untuk pemudinya 20 tahun. Di Trunyan berlaku tiga macam cara
untuk memulai suatu perkawinan, sebelum perkawinan itu disahkan dengan upacara
keagamaan, yaitu dengan cara meminang si gadis (memadik), dengan
cara lari bersama si gadis (ngerorot), dan kawin paksa dengan
menculik gadis yang diingini (melegendang), di antar ketiga cara
tersebut yang paling di gemari dan yang paling umum adalah yang kedua yaitu(ngerorot), atau
bersama-sama melarikan diri. Menurut pendapat orang Trunyan cara ini
berlandaskan pada percintaan yang datang dari kedua belah pihak sedangkan cara
pertama yaitu meminang (memadik) sama sekali tidak
berlandaskan cinta, karena berlandaskan kemauan orang tua belah pihak, dan yang
ketiga yaitu kawin paksa dengan menculik gadis yang diingini (melegandang).
Tidak berlandaskan percintaan sama sekali, karena cinta hanya datang dari pihak
laki-laki terhadap seorang gadis yang menolak cintanya.
Persetubuhan sebelum diadakan upacara
perkawinan adat (Pramalital union) diperbolehkan oleh adat
Trunyan, karena tujuan utama Trunyan adalah untuk memperoleh keturunan,
sehingga upacara keturunan adat yang mahal itu, baru akan diadakan jika seorang
lelaki dengan pasti bahwa menjalin hubungannya dengan gadis idamannya ini akan
menghasilkan keturunan baginya[18].
Dalam upacara ini selama enam hari
sepasang mempelai tidak boleh menampakkan diri, jika tidak demikian di anggap
sebagai tidak menghargai orang tua si gadis. Mereka akan menjadi marah benar
jika merka sampai bertemu dengan bakal menantu atau putrinya persemian ini.
Setelah persembunyaian 6 hari lamanya, sepasang mempelai itu boleh menampakan
diri, dan harus segera mengunjungi rumah-rumah kediaman orang tua dan kerabat
si gadis, lalu menyerahkan persembahan berupa ketupat dan sirih. Dalam upacara
ini mempelai pria dia antar oleh saudara-saudaranya sendiri, kemudian ia
kembali lagi kerumah mertuanya untuk di jamu, dan dari sana istrinya ia kembali
kerumah ketempat persembunyan yang terletak beberapa meter dari rumah
mertuanya.
Upacara pemesrah ini terdiri dari 4 tahap,
yaitu Mebiekaon, memperagap atau mekalakalan, Bhakti Pascaren,
Mepekandal. Sebelum menunaikan tempat upacara pengesahan perkawinan
ini, kedua mempelai tersebut hanya di aku sebagai orang yang sudah kawin,
tetapi belum sebagai anggota krama desa penuh karna masih di anggap belum bersih.
Unsur mas kawin tidak ada dalam adat
perkawinan orang Trunyan. Unsur yang ada hanya apa yang di sebut gagapan.
Gagapan adalah semacam oleh-oleh yang di berikan oleh orang tua mempelai
laki-laki kepada calon menantunya sewaktu meminangnya. Gagapan terdiri dari
sehelai kain batik, sepotong baju kebaya sehelai handuk berwarna menyala.
Pada waktu seorang gadis telah di setujui
oleh orang tuanya untuk berumah tangga dengan pemuda pilihannya, maka ia oleh
orang tuanya di beri semacam bawaan dari rumahnya yang di sebut metatadan. Metatadan
adalah berupa bahan makanan, satu stel pakean perumpuan, hasil-hasil bumi
seperti bawang merah, bawang putih untuk bibit, dan alat pertanian, jika orang
tuanya orang berada, maka sigadis di beri juga perhiasan dari logam atau batu
mulia[19].
Ø Cara Pemakaman
Trunyan.
Cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam
yaitu: pertama, Meletakan jenazah di atas tanah di bawah udara terbuka tilah
mepasah dan kedua, di kuburkan di dalam tanah.
Orang-orang yang di mepasahkan adalah
mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga,
orang-orang yang masih bujangan, dan anak kecil yang telah mekutus, yaitu telah
tinggal gigi susunya. Adapun orang-orang yang di kebukan setelah meninggal
adalah orang telah cacat tubuhnya sewaktu meninggal, yaitu misalnya sudah tidak
lagi lengkap salah satu anggota tubuhnya, bahakan pada saat matinya pada
tubuhnya terdapat luka yang belum sembuh, seperti yang terjadi pada tubuh para
penderita penyakit cacar, lepra dan lain-lain.
Keperluan pemakaman di Desa Trunyan di
sediakan tiga tempat pemakaman yaitu: Pertama, Sema Wayah kedua, Sema Nguda,
ketiga, Sema Bantas. Sema Wayah di pergunakan untuk pemakan jenis mepasah,
sedangkan Sema Bantas di pergunakan bagi jenis pemakaman dengan penguburan,
Sema Nguda di pergunakan bagi kedua jenis pemakaman, yaitu baik mepasah, maupun
penguburan. Sema Wayah, tempat pemakan secara mepasah bagi orang-orang yang
pada waktu, matinya sudah kawin, dan matinya normal artinya karena sakit
biasa, atau sudah tua. Sema Bentas adalah tempat pemakaman secara mengubur bagi
orang baik yang sudah kawin atau belum, baik anak-anak maupun orang muda,
maupun orang tua yang matinya tidak wajar atau tubuhnya cacat. Sedangkan Sema
Muda adalah pemakaman khusus bagi orang-orang yang belum kawin dan anak-anak
yang sudah meketus yang di lakukan secara mepasah dan di samping itu juga di
pergunakan sebagai tempat pemakaman bagi anak-anak bayi yang belum mekutus
tetapi, secara penguburan. Hanya tempatnya untuk yang di mepasah di lakukan di
tanah lapangan terbuka, sedangkan untuk penguburan di kaki lereng bukit batu.
Perbedaan penguburan di Sema Bantas dengan penguburan di Sema Muda bagi anak-anak
bayi yang belum meketus ialah mayat di timbuni dengan tanah melainkan dengan
batu.[20]
Seperti yang telah
disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan dengan
cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan tanah.
Tempat pembaringan jenazah diberi lubang sekitar 10 hingga 20 cm agar posisi
jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah pemakaman yang tidak rata. Kemudian
selain bagian wajah, bagian tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai
penanda, jenazah ditutup dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang
disebut ancak saji. Yang unik adalah meski pun jenazah
diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak tercium baunya. Jenazah
tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti
pohon dan menyan berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar
dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir udara di sekitarnya.
Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh
didaerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini
agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.[21] Di bawah satu pohon taru menyan,
hanya dapat diletakakan maksimal sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur
oleh kepercayaan adat setempat. Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon
taru menyan hanya bisa menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu
maka jenazah tersebut akan mengeluarkan bau. Bila ada jenazah yang baru, maka
maka satu jenazah yang paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak
ditutupi dengan kurung ancak saji (Ancak saji merupakan
anyaman bambu segitiga sama sisi).Jenazah yang lama akan disatukan dengan
jenazah lainnya dalam tatanan batu atau di bawah pohon. Maka tidak heran
jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal
sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di
area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang
yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.[22]
Ø Berikut Ini Contoh
Gambar Pemakaman Trunyan Bali.
http://samarabalitor.blogspot.com/2015/07/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisir.html. diakses pada
tanggal, 15 april 2016 pada pukul 08.00.
http://agungrarebali.blogspot.com/2015/03/desa-trunyan-uniknya-pohon-penetralisi.html. Diakses pada
tanggal, 15 april 2016 pada pukul 18.00.
selanjutnya